Giling tebu perdana di Pabrik Gula (PG) Blora, Rabu (4/6) kemarin ditandai dengan penekanan sirine oleh Dirut PT.GMM Kamadjaya bersama dengan para tamu undangan. (rs-infoblora) |
Pada giling tebu perdana kemarin diramaikan dengan Pesta Rakyat yang dikomandani seniman nasional dari Yogyakarta, Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto melengkapi peresmian pabrik tersebut.
"Kami
mampu menggiling 6.000 ton tebu setiap harinya atau setara 4.000 truk
tebu. Namun, awal ini kami menggiling 4.000 ton tebu per hari," kata
Presiden Direktur PT Gendhis Multi Manis, Kamadjaya.
Kebutuhan
gula nasional saat ini sekitar 5,75 juta ton per tahun. Dari jumlah
itu, pabrik gula di Indonesia hanya bisa memasok sekitar 40 persen.
Kekurangannya terpaksa mengimpor dari negara lain.
Peresmian
operasional Pabrik gula Blora (PT GMM) itu dimeriahkan Pesta Rakyat,
semacam cengbengan pada pabrik gula buatan Belanda. Dalam Pesta Rakyat
itu, kedudukan petani atau rakyat dengan pengusaha pabrik gula adalah
setara.
"Itu untuk menghapus kesan feodal yang
selama ini ada di pabrik gula. Di sini, petani dan bos pabrik setara.
Pesta Rakyat di pabrik gula Blora memang berbeda dengan cengbengan
pabrik gula peninggalan Belanda," kata Butet Kartaredjasa.
Lukisan mural di dinding Pabrik Gula (PG) Blora. (rs-infoblora) |
Dinding pabrik gula itu juga berbeda dengan pabrik gula lainnya. Lukisan mural sengaja dihadirkan di sana sehingga kesan seni sangat kental di pabrik tersebut. Ada dua sosok petani kekar di sana. Ada kata-kata penggugah semangat bertani dan kebersamaan dalam bahasa Jawa "Tebune Lemu-lemu" (tebunya gemuk-gemuk) dan "Kanggo Urip Bebarengan" (Untuk hidup bersama). Falsafah hidup komunitas Samin berusaha dituangkan di lukisan mural tersebut.
Pabrik itu mempekerjakan 1.000 lebih tenaga kerja dan melibatkan sekitar 20.000 petani tebu di Kabupaten Blora. "Pabrik
itu mulai dibangun pada Juni 2011 dengan investasi Rp 1,8 triliun. Saya
optimistis pabrik itu bisa memproduksi gula yang berkualitas baik,
sebab tebu di Blora rendamannya mencapai 8 persen. Lalu, bagi hasil
dengan petani tebu 70 persen untuk petani dan 30 persen untuk pabrik.
Sementara itu, pabrik gula milik pemerintah memasang aturan 66 persen
untuk petani dan 34 persen untuk pabrik.
“Jadi, kami menghargai lebih banyak untuk petani," tutur Kamadjaya, pria berambut gondrong yang disemir dengan aneka warna ini.
Saya
yakin dengan sistem bagi hasil 70:30, pabrik kami masih tetap
mendapatkan untung. Bila dihitung, saya perkirakan bisa mencapai BEP
setelah beroperasi delapan tahun," dia menuturkan.
Giling tebu perdana di Pabrik Gula Blora, Rabu kemarin. (rs-infoblora) |
Kamadjaya juga pernah ikut
menangangi revitalisasi pabrik gula Cepiring di Kabupaten Kendal pada
2008. Pabrik peninggalan pemerintah kolonial Belanda itu sudah beberapa
tahun mengkrak tidak beroperasi. Karena kebutuhan gula nasional yang
tinggi, beberapa pabrik gula di Jawa Tengah dihidupkan kembali.
Sejak
1870, seiring dengan pengenapan sistem hal sewa tanah untuk penggunaan
lahan selama 70 tahun, bermunculanlah pabrik gula di Indonesia yang
masih dijajah Belanda. Setidaknya ada 74 pabrik gula yang mayoritas
berada di Jawa. Setelah Indonesia merdeka, secara perlahan banyak pabrik
yang tutup.
Setelah era Reformasi, beberapa
pabrik berusaha dihidupkan kembali dengan masih menggunakan mesin lama.
Di Jawa Tengah ada 11 pabrik gula yang masih beroperasi. Dengan adanya
PT Gendhis Multi Manis, kini ada 12 pabrik yang beroperasi.
Keberadaan pabrik gula baru itu merupakan upaya yang keras dari Kamadjaya. "Pabrik
gula yang terakhir kali dibangun terjadi pada 1984. Kini, kami
membangun pabrik baru, tetapi tidak punya lahan tebu (hak guna usaha
tanah). Tebu berasal dari rakyat. Kedudukan kami dengan petani menjadi
sama," kata Kamadjaya.
"Saat itu, Pak Bibit
Waluyo (Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013) menantang saya apakah
bisa membangun pabrik yang bagus seperti Cepiring. Bersama Pak Bibit
saya ke Blora, kemudian memilih lokasi pabrik di sini," dia menuturkan.
Agar
pabrik itu bisa hidup terus, ia masuk ke komunitas penduduk lewat cara
kebudayaan. Kamadjaja menginginkan pabrik bersenyawa dengan petani.
"Saya bersenyawa dengan petani. Maksudnya, saya dan petani tebu satu
nyawa," ujar dia.
Disamping itu, selain PG Blora, nantinya akan ada dua pabrik gula milik swasta yang akan diresmikan menyusul. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir menuturkan untuk mencapai swasembada 5,7 juta ton gula kristal putih, Indonesia revitalisasi 52 PG milik BUMN dan minimal 10 PG baru.
"PG Blora ini harus disambut dengan baik dan semoga memicu investor-investor lain untuk membangun PG baru. Karena ini hanya satu dari 10-15 PG baru yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada gula," katanya di sela peresmian PG Blora, Rabu (4/6) kemarin.
Gamal mengatakan pendirian PG baru akan menggenjot efisiensi industri gula nasional yang saat ini berada pada kisaran 70% dengan tingkat rendemen 6%-7%. "Pabrik baru seperti PG Blora ini efisiensinya minimal 85%, kalau pabrik lama hanya 70%. Rendemen juga bisa 8% karena mesinnya baru," tuturnya.
Dalam waktu dekat, lanjut Gamal, setidaknya ada dua PG baru milik swasta yang akan diresmikan. Dua pabrik tersebut adalah milik PT Kebun Tebu Mas di Lamongan, Jawa Timur dan milik PT Adi Karya Gemilang di Lampung. "Kapasitasnya hampir sama dengan PG Blora sekitar 10.000 ton cane per day (TCD). Yang di Lamongan itu konsepnya juga plasma dengan petani lokal," ungkapnya.
Adapun rencana ekspansi lahan perkebunan tebu dan pendirian pabrik gula di Indonesia Timur, kata Gamal, masih menunggu peralihan status lahan dari hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi hak guna usaha (HGU). "Di Indonesia Timur ada rencana pembangunan seperti di Sumba dan Merauke, tpai masih menunggu status lahan," imbuhnya.
Berdasarkan taksasi, produksi gula nasional pada 2014 mencapai 2,9 juta ton GKP. Namun, proyeksi tersebut masih perlu dievaluasi mengingat kondisi cuaca yang tidak menentu. (rs-infoblora)
Sumber: http://www.infoblora.com/2014/06/pabrik-gula-blora-mulai-beroperasi.html
0 komentar:
Posting Komentar